KALA SENI
BERCINTA DENGAN FILSAFAT
Alawi Nurshuma & Stella Chandra
AMBIGUITAS
SENI
Sedari dulu bahkan hingga saat ini
seni tidak ubahnya sebuah karya ciptaan manusia yang bermakna tak berujung.
Setiap penikmatnya seakan memiliki hak prerogatif untuk menerjemahkan karya seni
dengan atau tanpa persetujuan dari seniman. Tidak jarang pesan yang hendak
disampaikan atau ekspresi pengalaman yang dituangkan seniman tidak mampu
diterjemahkan secara tepat oleh penikmatnya juga para kritikus seniman.
Menurut George Dickie (1969) karya seni adalah sebuah
artefak (buatan manusia), dan terkait atau terhubung dengan pihak atau komunitas
seni tertentu yang mengakui atau mengapresiasi karya itu sebagai seni. Bila
melihat definisi tersebut jelas tidak sulit untuk menerjemahkan karya seni
bilamana hanya dinikmati bagi komunitas ataupun kalangan seniman itu sendiri.
Namun bila mana seni tersebut secara sengaja atau tidak hendak diekspresikan ke
khalayak umum maka akan menciptakan makna ambigu diantara seniman dan penikmat
seni karena tidak adanya kesepamahan mengenai hal atau pengalaman yang hendak
diekspresikan tersebut.
Ketidaksepahaman itu tercipta bukan karena penikmat seni
tidak memahami seni ataupun seniman yang tidak benar-benar hendak
mengekspresikan pengalamannya melalui seni, namun dikarenakan tidak adanya landasan
dalam berseni. Landasan ini berupa pengetian bebas dari segala sesuatu yang
bisa dipahami melalui filsafat.
SENI
YANG NON-ETIS
Keindahan adalah unsur tolok-ukur dalam penilaian seni. Namun
tolok-ukur tersebut akan menjadi samar ketika penilaian itu tidak terlepas dari
sifat etis karena keindahan juga bersifat non-etis (tidak memandang nilai-nilai
normatif) sebagaimana seni dan filsafat. Keindahan terlepas dari baik/buruk dan
enak/tidak enak dikonsumsi oleh panca indera. Hal tersebut akan bertolak
belakang dengan Bambang Sugiharto yang berpendapat bahwa sejalan dengan
perkembangan seni, seni terlepas dari unsur keindahannya.
Seni dapat diklasifikasikan sebagai bentuk dari
penyingkapan atas pengalaman-pengalaman yang dialami manusia. Pengertian
tersebut banyak-sedikit berbeda dari pengertian para ahli tentang seni yang
juga tidak berujung pada kesepahaman. Dalam klasifikasi tersebut sebenarnya
penulis tidak hendak mendefinisikan seni tetapi mencoba memahami perbedaannya
dengan agama dan ilmu pengetahuan yang juga termasuk dalam klasifikasi
tersebut.
Dalam ilmu pengetahuan dan agama, pengalaman-pengalaman
manusia tidak lagi bisa diekspresikan secara bebas. Ilmu pengetahun telah mengkerdilkan
pengalaman manusia. Sebagai contohnya, oksigen yang hanya diartikan sebagai
elemen hasil dari penggabungan dua unsur O menjadi O2. Agama cenderung memilah dan mimilih pengalaman
manusia yang patut/tidak patut atau baik/baruk dan menegaskannya dalam hukum
haram/halal sehingga banyak yang tidak benar-benar diugkap. Lain hal dengan agama dan ilmu pengetahuan,
seni mencoba untuk menyingkap segala pengalaman dan tidak segan menghadirkan
segala kompleksitas (kerumitan) yang ada pada pengalaman itu. Seni mencoba
menyampaikan bahwa sesuatu yang terjadi secara konkrit itu hadir dengan
kerumitannya.
Filsafat juga bagian dari klasifikasi tersebut yang
bilamana diintergrasikan dengan seni maka akan mampu memberikan ruang untuk
pengalaman-pengalaman hidup manusia terekspresikan tanpa adanya sekat
nilai-nilai normatif (non-etis). Bercintanya filsafat dengan seni adalah ketika
filsafat mencoba memaparkan kenapa ini terjadi, apa yang terjadi, dan apa makna
sejatinya sesuatu hal terjadi, hal itu sangat berkesinambungan dengan seni yang
mencoba memaparkan kondisi. Dengan filsafat semua data tentang pengalaman hidup
manusia diolah sehingga dapat diekspresikan dan diwujudkan kedalam satu bentuk
karya seni.
EKSPRESI KETUHANAN DALAM SENI
Ketika filsafat mencoba untuk membebaskan seniman dari
ekspresi jiwa yang tidak bebas karena dibatasi oleh norma-norma yang tercipta
dari agama maupun hambatan dari ilmu pengetahuan, filsafat akan menelaah makna
dari pengalaman yang hendak diekspresikan terlebih dahulu dalam bentuk
pembebasan yang tidak lagi dihalangi oleh sekat etis. Penulis akan memberikan
cerita tentang karya seni lukis bertema ketuhanan sebagai contohnya.
Di suatu pameran terpampang dua lukisan yang bertemakan
ketuhanan. Lukisan pertama, melukiskan lafadzh Allah, lukisan kedua adalah
lukisan roda yang terbuat dari lembaran uang yang dilipat dengan wanita di
atasnya. Lukisan itu adalah karya seni dari seniman yang berbeda. Kemudian,
terdapat masa dimana sekumpulan penikmat seni yang awam atau tidak mengenal filsafat
melihat kedua lukisan tersebut. Mereka secara langsung berkata “subhaallah”
tatkala melihat lukisan lafadzh Allah. Tetapi, reaksi yang jauh berbeda terjadi
ketika mereka melihat lukisan kedua. Mereka tercengang lantas betanya-tanya,
“Mengapa lukisan ini termasuk kedalam tema ketuhanan?”
Dari cerita tersebut, secara umum manusia mengartikan
Tuhan sebagai zat yang dijunjung tinggi, sang khalik, dan segalanya yang Maha. Sedangkan
menurut ilmu filsafat Tuhan adalah segala sesuatu yang mendominasi diri manusia
sehingga manusia memprioritaskannya. Berangkat dari pengertian tersebut,
seniman yang melukiskan uang, roda, dan wanita mencoba mengekspresikan
pengalaman hidupnya tentang ketuhanan yaitu realitas sekarang saat manusia
di-Tuhankan oleh uang. Penikmat seni tidak akan mampu menelaah maksud dari seni
yang telah bercinta dengan filsafat tanpa kaca mata filsafat juga.
KESIMPULAN
Filsafat
merupakan modal bagi seniman dan penikmat seni ataupun kritikus seni untuk
mencapai kesepahaman yang sama dalam berseni. Untuk seniman, mereka akan cenderung lebih mempunyai
banyak kacamata tentang pengalaman yang hendak ia ceritakan lewat seninya. Untuk
penikmat seni, mereka akan jauh lebih memaknai seni dari berbagai sisi tidak
terbatas pada nilai dan norma yang ada. Isi dari kritikan seni akan lebih
berkualitas dibandingkan dengan kritikan seni populer seperti yang ada saat ini
karena tidak adanya landasan filsafat dalam penalarannya.
Berfilsafat bukanlah hal yang sulit. Para seniman dan
penikmat seni hanya perlu memulainya dengan menanggalkan semua dogma dan
doktrin, serta norma dan nilai juga mengacuhkan perkara baik dan buruk. Hal yang
paling utama setelah itu adalah berpikir bebas, tentang segala sesuatu.