Selasa, 11 April 2017

KALA SENI BERCINTA DENGAN FILSAFAT
Alawi Nurshuma & Stella Chandra


AMBIGUITAS SENI

            Sedari dulu bahkan hingga saat ini seni tidak ubahnya sebuah karya ciptaan manusia yang bermakna tak berujung. Setiap penikmatnya seakan memiliki hak prerogatif untuk menerjemahkan karya seni dengan atau tanpa persetujuan dari seniman. Tidak jarang pesan yang hendak disampaikan atau ekspresi pengalaman yang dituangkan seniman tidak mampu diterjemahkan secara tepat oleh penikmatnya juga para kritikus seniman.  

Menurut George Dickie (1969) karya seni adalah sebuah artefak (buatan manusia), dan terkait atau terhubung dengan pihak atau komunitas seni tertentu yang mengakui atau mengapresiasi karya itu sebagai seni. Bila melihat definisi tersebut jelas tidak sulit untuk menerjemahkan karya seni bilamana hanya dinikmati bagi komunitas ataupun kalangan seniman itu sendiri. Namun bila mana seni tersebut secara sengaja atau tidak hendak diekspresikan ke khalayak umum maka akan menciptakan makna ambigu diantara seniman dan penikmat seni karena tidak adanya kesepamahan mengenai hal atau pengalaman yang hendak diekspresikan tersebut.

Ketidaksepahaman itu tercipta bukan karena penikmat seni tidak memahami seni ataupun seniman yang tidak benar-benar hendak mengekspresikan pengalamannya melalui seni, namun dikarenakan tidak adanya landasan dalam berseni. Landasan ini berupa pengetian bebas dari segala sesuatu yang bisa dipahami melalui filsafat.
         

SENI YANG NON-ETIS

Keindahan adalah unsur tolok-ukur dalam penilaian seni. Namun tolok-ukur tersebut akan menjadi samar ketika penilaian itu tidak terlepas dari sifat etis karena keindahan juga bersifat non-etis (tidak memandang nilai-nilai normatif) sebagaimana seni dan filsafat. Keindahan terlepas dari baik/buruk dan enak/tidak enak dikonsumsi oleh panca indera. Hal tersebut akan bertolak belakang dengan Bambang Sugiharto yang berpendapat bahwa sejalan dengan perkembangan seni, seni terlepas dari unsur keindahannya. 

Seni dapat diklasifikasikan sebagai bentuk dari penyingkapan atas pengalaman-pengalaman yang dialami manusia. Pengertian tersebut banyak-sedikit berbeda dari pengertian para ahli tentang seni yang juga tidak berujung pada kesepahaman. Dalam klasifikasi tersebut sebenarnya penulis tidak hendak mendefinisikan seni tetapi mencoba memahami perbedaannya dengan agama dan ilmu pengetahuan yang juga termasuk dalam klasifikasi tersebut.

Dalam ilmu pengetahuan dan agama, pengalaman-pengalaman manusia tidak lagi bisa diekspresikan secara bebas. Ilmu pengetahun telah mengkerdilkan pengalaman manusia. Sebagai contohnya, oksigen yang hanya diartikan sebagai elemen hasil dari penggabungan dua unsur O menjadi O2. Agama cenderung memilah dan mimilih pengalaman manusia yang patut/tidak patut atau baik/baruk dan menegaskannya dalam hukum haram/halal sehingga banyak yang tidak benar-benar diugkap.  Lain hal dengan agama dan ilmu pengetahuan, seni mencoba untuk menyingkap segala pengalaman dan tidak segan menghadirkan segala kompleksitas (kerumitan) yang ada pada pengalaman itu. Seni mencoba menyampaikan bahwa sesuatu yang terjadi secara konkrit itu hadir dengan kerumitannya.

Filsafat juga bagian dari klasifikasi tersebut yang bilamana diintergrasikan dengan seni maka akan mampu memberikan ruang untuk pengalaman-pengalaman hidup manusia terekspresikan tanpa adanya sekat nilai-nilai normatif (non-etis). Bercintanya filsafat dengan seni adalah ketika filsafat mencoba memaparkan kenapa ini terjadi, apa yang terjadi, dan apa makna sejatinya sesuatu hal terjadi, hal itu sangat berkesinambungan dengan seni yang mencoba memaparkan kondisi. Dengan filsafat semua data tentang pengalaman hidup manusia diolah sehingga dapat diekspresikan dan diwujudkan kedalam satu bentuk karya seni.


EKSPRESI KETUHANAN DALAM SENI

Ketika filsafat mencoba untuk membebaskan seniman dari ekspresi jiwa yang tidak bebas karena dibatasi oleh norma-norma yang tercipta dari agama maupun hambatan dari ilmu pengetahuan, filsafat akan menelaah makna dari pengalaman yang hendak diekspresikan terlebih dahulu dalam bentuk pembebasan yang tidak lagi dihalangi oleh sekat etis. Penulis akan memberikan cerita tentang karya seni lukis bertema ketuhanan sebagai contohnya.

Di suatu pameran terpampang dua lukisan yang bertemakan ketuhanan. Lukisan pertama, melukiskan lafadzh Allah, lukisan kedua adalah lukisan roda yang terbuat dari lembaran uang yang dilipat dengan wanita di atasnya. Lukisan itu adalah karya seni dari seniman yang berbeda. Kemudian, terdapat masa dimana sekumpulan penikmat seni yang awam atau tidak mengenal filsafat melihat kedua lukisan tersebut. Mereka secara langsung berkata “subhaallah” tatkala melihat lukisan lafadzh Allah. Tetapi, reaksi yang jauh berbeda terjadi ketika mereka melihat lukisan kedua. Mereka tercengang lantas betanya-tanya, “Mengapa lukisan ini termasuk kedalam tema ketuhanan?”

Dari cerita tersebut, secara umum manusia mengartikan Tuhan sebagai zat yang dijunjung tinggi, sang khalik, dan segalanya yang Maha. Sedangkan menurut ilmu filsafat Tuhan adalah segala sesuatu yang mendominasi diri manusia sehingga manusia memprioritaskannya. Berangkat dari pengertian tersebut, seniman yang melukiskan uang, roda, dan wanita mencoba mengekspresikan pengalaman hidupnya tentang ketuhanan yaitu realitas sekarang saat manusia di-Tuhankan oleh uang. Penikmat seni tidak akan mampu menelaah maksud dari seni yang telah bercinta dengan filsafat tanpa kaca mata filsafat juga.


KESIMPULAN

Filsafat merupakan modal bagi seniman dan penikmat seni ataupun kritikus seni untuk mencapai kesepahaman yang sama dalam berseni. Untuk seniman, mereka akan cenderung lebih mempunyai banyak kacamata tentang pengalaman yang hendak ia ceritakan lewat seninya. Untuk penikmat seni, mereka akan jauh lebih memaknai seni dari berbagai sisi tidak terbatas pada nilai dan norma yang ada. Isi dari kritikan seni akan lebih berkualitas dibandingkan dengan kritikan seni populer seperti yang ada saat ini karena tidak adanya landasan filsafat dalam penalarannya.

Berfilsafat bukanlah hal yang sulit. Para seniman dan penikmat seni hanya perlu memulainya dengan menanggalkan semua dogma dan doktrin, serta norma dan nilai juga mengacuhkan perkara baik dan buruk. Hal yang paling utama setelah itu adalah berpikir bebas, tentang segala sesuatu.


1 komentar:

  1. Nice post :)
    I wanna ask :
    Menurut penulis apakah seni dapat dinikmati oleh setiap insan manusia? Adakah orang yang tidak menyukai atau bahkan membenci seni?

    Terimakasih

    BalasHapus